Katak pohon Jawa (Rhacophorus javanus) termasuk jenis katak yang jarang ditemui karena penyebarannya yang sedikit. Pada tahun 2004 jenis ini masuk daftar IUCN (International Union Conservation Natural) sebagai jenis yang Vulnerable (terancam) karena penyebarannya kurang dari 20.000km2, disamping itu habitatnya yang mengalami penurunan baik dari sisi kuantitas maupun kualitas.
Semua katak pohon menyukai daerah yang lembab, tidak terkena matahari langsung dan dekat dengan daerah yang berair. Katak Pohon mempunyai kulit yang sensitif jadi sebaiknya tidak terlalu sering dipegang dan konon katanya air kencingnya beracun. Saat ini di desa-desa di Yogyakarta sudah jarang ditemui daerah yang cocok sebagai habitat katak pohon ini, karena jarang ditemukan pohon-pohon rindang yang diperlukan untuk menjaga kelembaban udara. Katak Pohon perlu kelembaban sekitar 70-80% dengan suhu udara sekitar 24-29o Celcius pada siang hari dan 18-24 celcius untuk malam hari.
Yogyakarta bagian utara di sekitar lereng Gunung Merapi dan daerah Yogyakarta sebelah barat di sekitar pegunungan Menoreh untuk sekarang ini masih memungkinkan ditemukan habitat katak pohon ini, walaupun akhirnya juga akan seperti daerah lain jika pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah DIY tidak memperhatikan faktor-faktor lingkungan yang ada.
Makanan katak pohon setahu penulis tidak jauh berbeda dengan katak-katak lainnya, hanya dari sisi keberuntungan mungkin katak pohon lebih mudah memangsa serangga dibanding katak-katak jenis lain. Katak Pohon biasanya memakan serangga hidup, aktif di malam hari dan lebih suka hidup sendiri. Katak pohon ini pandai meloncat dan lebih jauh di samping itu juga pandai memanjat, karena jari-jari kakinya lengket seperti cicak. Katak Pohon bisa tumbuh hingga mencapai ukuran 5-10 cm.
Saat sekitar tahun ’80 an penulis sering menjumpai beberapa katak pohon dari spesies Racophorus javanus yang berwarna kekuning-kuningan maupun spesies Polypedates leucomystax yang tubuhnya bergaris. Walaupun waktu itu kami mengira kedua jenis itu sama saja dan keduanya oleh orang desa dinamakan Kodok Bencok.
Pada musim kawin, banyak individu jantan (kadang-kadang hingga sekitar 10 ekor) yang berkumpul dekat kolam, parit atau genangan air lainnya. Kodok-kodok jantan ini memanjat semak-semak rendah atau pohon kecil di dekat genangan, hingga ketinggian 1 m atau lebih di atas tanah, serta bersuara sahut-menyahut dari tenggerannya itu untuk memikat kodok betina. Jika bertemu, pasangan kodok pohon ini lalu bergerak mencari posisi daun atau ranting yang menggantung di atas air untuk menempelkan telurnya.
Telur-telur itu diletakkan di sebuah sarang busa yang dilekatkan menggantung di atas genangan, pada daun, ranting, tangkai rumput, atau kadang-kadang juga pada dinding saluran air. Gelembung-gelembung busa ini akan melindungi telur dari kekeringan, hingga saatnya menetas dan kecebongnya keluar berjatuhan ke air.
Di saat musim kawin ini, beberapa kodok jantan menunjukkan sikap agresif terhadap kehadiran cahaya senter dengan menghampiri dan bertengger dekat cahaya, dan lalu bersuara. Bunyi: pro-ek.. wrok!... krot..krot..krot, mirip orang mempergesekkan giginya.
Klasifikasi ilmiah:
Kerajaan Animalia, Filum Chordata, Kelas Amphibia, Ordo Anura, Famili Rhacophoridae, Genus Polypedates (Tschudi, 1838)
Sumber Referensi dan Foto:Fobi, fotokita.net, wikipedia