Tuesday, September 27, 2011

CAPUNG JARUM BEDA CAPUNG UNDUR-UNDUR

Capung atau papatong (Sunda), kinjeng, tikerok, tikiyik dan coblang (Jawa) pada fase larva merupakan predator benih ikan yang sangat ganas. Larva capung menjadi momok usaha pembenihan ikan di beberapa daerah sentra perikanan budidaya.

Capung ini termasuk kelas Insekta dari ordo Odonata dan subordo Epiprocta. Ada banyak suku dari capung ini, yaitu Austropetaliidae Cordulegastridae; Corduliidae; Gomphidae; Libellulidae; Macromiidae; dan Neopetaliidae. Secara umum masyarakat kita mengelompokkannya ke dalam dua kelompok besar yaitu capung (sibar-sibar) dan capung jarum. Capung (dragonfly) ataupun Capung jarum (damselfly) merupakan salah satu jenis serangga yang banyak dijumpai. Katanya capung sudah ada sejak 300 juta tahun yang lalu.

Capung merupakan serangga yang tidak menggigit ataupun bersengat. Capung merupakan hewan yang memiliki peran sebagai sumber makanan bagi banyak hewan lain, seperti burung, ikan, katak, ataupun kumbang air. Capung hidup dekat dengan air karena siklus hidupnya yang membuat mereka tidak bisa hidup jauh dari air. Capung hidup di air bersih. karena itu capung dan capung jarum berperan bagi manusia sebagai indikator pencemaran lingkungan. Bila di suatu sumber air tidak lagi ditemukan capung, artinya lingkungan itu sudah tercemar dan ekosistemnya terganggu.

Berbeda dengan capung biasa, Capung jarum tubuhnya ramping dan kecil seperti jarum. Bila sedang hinggap sayapnya menutup rapat lekat ketubuhnya. Dibeberapa daerah capung jarum ada juga yang agak besar. Diketahui capung jarum berkembang biak dengan meletakan telurnya pada tumbuhan air. Setelah menetas, tempayak (larva) capung hidup dan berkembang di dasar perairan, mengalami metamorfosis menjadi nimfa, dan akhirnya keluar dari air sebagai capung dewasa. Siklus hidup capung, dari telur hingga mati setelah dewasa, bervariasi antara enam bulan hingga maksimal enam atau tujuh tahun.


Sistematika lengkapnya adalah sebagai berikut:


Filum : Arthropoda
Kelas: Insecta
Ordo: Odonata
Sub ordo: Epiprocta
Famili: Aeshnidea
Genus: Anisoptera (capung); Zygoptera (capung jarum)

Capung ini pada jaman tahun 80 an merupakan mainan favorit anak-anak pelosok desa di kawasan Ngaran Kabupaten Sleman Yogyakarta. Bentuk dan gaya terbang yang mirip dengan helicopter ini sangat menarik minat anak-anak untuk dijadikan mainan penganti helicopter yang mewah bagi sebagian orang tua di desa.

Capung merupakan jenis serangga ini hidup dekat air, tempat mereka bertelur dan menghabiskan masa pra-dewasa anak-anaknya. Kehidupan capung tidak pernah jauh dari air. Insekta ini berkembang biak dengan bertelur. Telurnya diletakkan pada tetumbuhan yang berada di air. Ada jenis capung yang senang menaruh telurnya di air yang menggenang, namun ada pula jenis capung yang senang menaruh telurnya di air yang agak deras. Setelah terjadi perkawinan, telur hasil perkawinan akan kelihatan keesokan harinya di permukaan air kolam. Bentuknya seperti telur kodok yang dibaluti lendir panjang lendir antara 1 - 3 cm.

Telurnya tidak begitu kentara namun jika dipegang terasa licin di tangan. Dalam waktu 2 hari biasanya telur sudah menetas. Setelah menetas, larva meninggalkan cangkang berlendirnya yang berada di permukaan air dan hidup melayang-layang dalam air.

Untuk menjamin kelangsungan hidup telur dan anakannya, capung meletakkan telur-telurnya di air yang dianggapnya aman dan tidak tercemar racun yang mematikan. Selain itu, mereka sepertinya punya insting untuk meletakkan telurnya di lokasi yang banyak tersedia makanan. Sehingga tidak heran bila telur-telur capung banyak ditemukan di areal persawahan yang banyak serangga airnya dan juga perkolaman yang banyak benih ikannya.

Setelah menetas, larva (tempayak) dan nimfa (post larva) capung (yang disebut kini-kini) hidup dan berkembang di dasar perairan, mengalami metamorfosis, dan akhirnya keluar dari air sebagai capung dewasa. Sebagian besar siklus hidup capung adalah di dalam air. Kini-kini hidup di air dengan dibantu alat pernafasan berupa insang internal, walaupun bernafas dengan insang larva capung dan nimfa mampu hidup di luar air selama berjam-jam.

Menjelang metamorfosis, kini-kini dengan panjang total 2 - 3 cm mulai memanjat tonggak-tonggak kayu atau pematang kolam yang tak jauh dari permukaan air. Metamorfosis didahului terbukanya kulit atau cangkang di sekitar pangkal sayap atau tengkuknya.

Selanjutnya kepala muncul secara perlahan-lahan. Seterusnya badan dan bagian ekor akan menyusul sehingga seluruh tubuhnya keluar, termasuk kaki dan sayapnya.

CAPUNG DARI UNDUR-UNDUR
Walaupun setelah melalui proses metamorphosis tidak sempurna undur-undur juga akan berubah menjadi mirip capung jarum namun memiliki antena yang panjang. Ukurannya relatif kecil, bervariasi antar satu spesies dengan lainnya dengan panjang tubuhnya antara 4-10 cm. Kemampuan terbang capung undur-undur ini tidak selincah Capung. Walaupun dari jenis serangga berbeda orang awam sering mengira kedua jenis hewan ini sama. Kalau Capung meletakkan telurnya di air, sedangkan capung undur-undur ini meletakan telurnya di tanah gembur dan berpasir hangat.

Undur-undur adalah nama umum dari berbagai jenis spesies serangga yang terkumpul dalam famili Myrmeleontidae. Hewan Undur-undur ini terdiri lebih dari 2.000 spesies yang hidup tersebar di seluruh dunia, terutama daerah bersuhu hangat.

Nama Undur-undur diberikan lantaran kebiasaan larvanya dalam berjalan mundur saat membuat sarang jebakan. Sedang di beberapa negara Undur-undur disebut sebagai antlion (semut singa) karena kebiasaannya menjebak dan memangsa semut sehingga menjadi ‘singanya para semut’. Nama familinya, Myrmeleontidae merupakan bahasa latin yang berasal dari kata myrmex (semut) dan leon (singa) sehingga nama Myrmeleontidae secara harfiah bisa diartikan “semut singa”. Sedangkan Undur-undur dewasa yang mampu terbang, jarang diperhatikan dan dikenali lantaran merupakan hewan nokturnal tang aktif pada sore dan malam hari.

Metamorfosis Undur-undur.
Undur-undur (antlion) mengalami proses metamorfosis sempurna mulai dari telur, larva, kepompong, hingga Undur-undur dewasa. Perkembangan Undur-undur dimulai ketika betina meletakkan telurnya di dalam tanah berpasir.

Telur undur-undur akan menetas menjadi larva. Larva inilah yang sering kita lihat yang mempunyai tubuh gempal, pipih, berkaki enam, dan memiliki sepasang taring panjang di kepalanya. Larva Undur-undur membuat jebakan di tanah dengan cara bergerak mundur dan memakai tubuhnya untuk menggali hingga akhirnya membentuk sarang jebakannya yang berbentuk seperti corong.

Makanan larva Undur-undur adalah jenis Arthropoda kecil, terutama semut. Yang unik, larva Undur-undur tidak memiliki anus sehingga sisa metabolisme akan disimpan dan baru dikeluarkan ketika mereka sudah menjadi Undur-undur dewasa.

Setelah menjadi larva, hewan Undur-undur (antlion) akan menjadi kepompong atau pupa. Bentuk kepompong Undur-undur mirip butiran pasir yang terkubur hingga beberapa centimeter di dalam tanah. Setelah sekitar satu bulan, kepompong berubah menjadi Undur-undur dewasa dan mulai tumbuh sayap sehingga mampu terbang.

Undur-undur dewasa mulai terbang untuk mencari pasangan dan melakukan perkawinan. Rata-rata usia Undur-undur dewasa hanya sekitar 20-25 hari saja. Makanan Undur-undur dewasa bervariasi. Sebagian spesies memakan serangga, sedangkan spesies lainnya memakan nektar (sari bunga) dari bunga.

Klasifikasi ilmiah.
Kerajaan: Animalia;
Filum: Arthropoda;
Upafilum: Hexapoda; Kelas: Insecta;
Upakelas: Pterygota;
Infrakelas: Neoptera;
Ordo: Neuroptera;
Famili: Myrmeleontidae.

Tuesday, September 20, 2011

SIDAT, ULING ATAU PELUS (ANGUILLIDAE) BEDA DENGAN BELUT

Sidat (ordo Anguilliformes) kelompok ikan berbentuk tubuh mirip ular. Ordo Anguilliformes terdiri atas 4 subordo, 19 famili, 110 genera, dan 400 spesies. Kebanyakan hidup di laut namun ada pula yang hidup di air tawar. Sedangkan Belut, famili Synbranchidae, memang dibedakan dengan sidat, famili Anguillidae. Perbedaan utama belut dengan sidat adalah, belut sama sekali tidak memiliki sirip, hingga tubuhnya mirip ular. Sedangkan sidat memiliki sepasang sirip. Masyarakat pedesaan di Jawa menyebut sirip sidat ini sebagai "telinga". Belut juga hanya disebut sebagai belut, sementara sidat memiliki banyak nama. Antara lain pelus, moa, uling, paling dan lubang, dengan variasi jenisnya yang juga sangat beragam. Belut hanya dibedakan menjadi tiga, yakni belut sawah (Monopterus albus), belut rawa atau belut kirai(Ophysternon bengelense) dan belut laut (Macrotema aligans).

Habitat Sidat ini biasanya banyak ditemukan di daerah rawa-rawa atau parit-parit yang agak dalam, terutama sungai-sungai yang bermuara langsung ke laut. Di dusun -dusun wilayah Sleman maupun Bantul masih dapat ditemukan beberapa Sidat atau Pelus ini, walaupun sekarang tidak sebanyak jaman dahulu. Berdasarkan pemetaan yang dilakukan, dapat diketahui bahwa daerah spawning ground terkonsentrasi di Perairan Mentawai, Sumatera Barat. Melalui arus laut, larva ikan sidat tersebut diketahui banyak ditemukan di Pelabuhan Ratu, Sukabumi dan di Segara Anakan, Cilacap. Di daerah-daerah tersebut memiliki perairan mangrove yang memang merupakan habitat ikan sidat sebelum menjadi dewasa dan siap kembali bermigrasi ke laut dalam.

Sidat, kalau boleh dibilang adalah binatang petualang, karena fase hidupnya yang berpindah-pindah dari tiap fasenya, namun karena sudah melalang buana tersebut akhirnya ikan ini menjadi sangat mahal dan terkenal di luar sana.

Fase kehidupan Sidat ini kebalikan dengan fase kehidupan ikan Salmon. Sidat dewasa (bisa berusia belasan tahun) memijah di laut berkedalaman 200-1.000 meter, sebelum kemudian bertumbuh dewasa mencari perairan tawar. Sidat dewasa saat akan bertelur dia akan berenang menuju laut yang dalam, begitu menetas sidat kecil akan mencari muara sungai dan setelah mereka agak dewasa serta mampu berenang melawan arus, mereka akan segera berpindah ke arah hulu sungai. Adapun Salmon memijah di hulu sungai kemudian dewasa di laut. Keduanya akan mati setelah bertelur.

Ikan sidat tergolong jenis ikan yang kurang populer di Indonesia. Secara fisik, sidat mirip belut. Bedanya, sidat bertubuh seperti pipa. Di dekat kepala ada sejenis telinga, dan ada sirip pada bagian atas tubuhnya.

Keunikan lain, sidat dapat menentukan jenis kelamin sesuai kondisi lingkungan. Sebelum berwarna keperakan di saat dewasa, sidat melalui fase transparan (ketika memasuki perairan tawar) dan berubah menjadi kuning. Umumnya, ketika sidat dalam fase kuning itulah banyak terjerat pancing. Sidat sering tertangkap di saluran-saluran air, anak sungai, sungai, dan danau..

Sedikitnya lima karakter genetik baru ikan sidat ditemukan dalam studi keragaman, distribusi, dan kelimpahan di perairan Indonesia periode 2004-2006. Temuan itu berpeluang menjadi spesies baru atau variasi intra-spesies. Untuk sementara, temuan itu diberi nama Anguilla sp. Yang sudah bisa dipastikan, tujuh dari 18 jenis sidat di dunia ada di perairan Indonesia. Dari hasil penelitian sidat pada Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ditemukan bahwa dari tujuh jenis itu, ada kemungkinan yang endemik, tetapi masih harus dikaji lagi.


Populasi Terancam

Seiring dengan tingginya permintaan konsumsi sidat di negara-negara maju, seperti Amerika, negara-negara Eropa, Jepang, Hongkong, Taiwan, dan China, populasi sidat tropis pun terancam. Menyusul penangkapan berlebihan di alam negara nontropis, permintaan impor sidat tropis meningkat. Padahal, hingga saat ini sidat belum dapat dibudidayakan dari telur.

Faktor lain yang ikut menyumbang kepunahan Sidat ini, karena pembangunan Dam atau Sabo di sungai-sungai Pulau Jawa yang sebetulnya diperuntukan sebagai penahan banjir lahar dingin, tetapi mempunyai dampak samping menghambat jalur migrasi Sidat dari arah hulu ke hilir dan sebaliknya.

Budidaya Sidat
Permintaan yang semakin meningkat dari ikan Sidat ini, seharusnya pemerintah perlu secara serius melakukan penelitian tentang budidaya Sidat ini, sehingga nantinya yang diperjualbelikan untuk dikonsumsi merupakan Sidat dari hasil budidaya bukan tangkapan dari alam. Sampai saat ini yang terjadi, sidat-sidat anakan ditangkap dari laut atau sungai lalu dibesarkan di kolam budidaya. Sidat-sidat itu kemudian diolah direstoran-restoran mewah bertarif mahal. Meskipun mahal, seperti hidangan kabayaki di restoran jepang yang satu porsinya dijual sekitar Rp 400.000, permintaan sidat tidak pernah menurun. Hingga kini para ahli dan peneliti sidat belum mampu membesarkan sidat dari ukuran larva di laboratorium. Untuk mencegah kepunahan sidat, disepakati agar ada kuota penangkapan dan harus selektif

Saat ini sangat sulit menemukan ikan sidat jantan untuk melakukan pembuahan, tetapi para peneliti dari BPPT katanya sudah berhasil menjantankan benih-benih ikan sidat dengan mengkondisikan benih ikan sidat, selain juga melakukan penambahan hormon metiltestosteron. Ikan sidat hasil pengkondisian ini nantinya akan menjadi indukan dalam pengembangbiakan.

BPPT akan mencoba untuk melakukan alih teknologi pemeliharaan ikan sidat teradaptasi. Jadi, benih ikan sidat yang berhasil dibiakkan akan disosialisasikan kepada masyarakat, terutama nelayan. Setelah sosialisasi, kemudian kami juga akan mengadakan pelatihan bagi instruktur dan nelayan itu sendiri. Diharapkan setelah itu masyarakat dan nelayan Segara Anakan dapat mengembangbiakkan sendiri benih ikan sidat hingga ukuran 50 gram dan dapat diekspor ke negara-negara konsumen ikan sidat. Hal ini tentunya akan meningkatkan nilai tambah produk dalam negeri yang nantinya juga dapat berimbas pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Klasifikasi ilmiah

Kerajaan:Animalia
Filum :Chordata
Kelas :Actinopterygii
Ordo :Anguilliformes

Subordo :
Anguilloidei
Nemichthyoidei
Congroidei
Synaphobranchoidei